Selasa, 15 September 2009
Teater Tradisional Sundur
Bojonegoro, (ANTARA News)- Teater tradisionil Sandur, asal Desa Ledokkulon, Kecamatan Kota, Bojonegoro Jawa Timur, yang sejak lama tidak pernah dimainkan, Selasa (24/6) malam, dipentaskan di lapangan Perak di kota asalnya.
Pementasan teater Sandur oleh satu-satunya kelompok teater itu yang kini ada di Bojonegoro tersebut atas prakarsa Musyawarah Guru Mata Pelajaran Seni Budaya se Kabupaten Bojonegoro.
"Pementasan ini sebagai upaya melestarikan budaya lokal sesuai kurikulum, sekaligus mengangkat teater Sandur di Bojonegoro yang hampir punah, " kata Ketua Panitia Penyelenggara Zaenal Bahrain S di sela-sela acara.
Pementasan teater Sandur tersebut disaksikan para guru Seni Budaya di Bojonegoro, juga masyarakat di sekitar lokasi pementasan.
Kelompok Sandur, dengan jumlah sekitar 25 pemain, mulai tokoh utama, penabuh gamelan, juga pelaku atraksi jaran kepang dan kalongking, mengambarkan pesta rakyat merayakan panen.
Ditemui terpisah, praktisi teater Sandur, Pramujito menjelaskan selama ini penampilan teater Sandur hanya sebatas untuk apresiasi, tidak pernah ada yang ditanggap masyarakat. Itupun rata-rata setahun hanya sekali.
"Untuk tahun 2008 ya baru sekali ini, " katanya. Menurut dia, tokoh teater Sandur di Bojonegoro hanya satu yakni Mbah Kadi yang sekarang memimpin Sandur Ledokkulon.
Teater Sandur menampilkan empat tokoh utama, yakni Germo, Balong, Petak dan Tangsil. Pementasan Sandur biasanya dimulai pukul 20.00 WIB hingga menjelang Subuh. Kali ini pementasan berdurasi sekitar tiga jam.(*)
Jatim dalam Teater Modernnya
Teater Modern Jatim
Telah satu abad lebih masyarakat Jatim telah mengenal teater modern. Akan tetapi, masyarakat Jatim juga para kreator teater-nya gagal mempertahankan tradisi teater modern yang telah dibangun sejak tahun 1891 oleh August Maheiu dengan nama Komedi Stamboel dan kemudian dilanjutkan dengan Dardanella pada tahun 1926.
Dardanella semula bernama The Malay Opera yang diprakarsai oleh Willy Klimanoff, anak pemain sirkus terkemuka A. Klimanoff kelahiran Rusia. Willy Klimanoff hijrah ke Indonesia sepeninggalan ayahnya. Dengan penguasaan teknik akrobatik Willy Klimanoff mendapat pekerjaan di Komedi Stamboel, kemudian mengganti namanya dengan A. Pedro.
Dalam bentuk pertunjukan atau infra strukturnya, A. Pedro banyak melakukan perombakan secara revolusioner sebagaimana sistem pertunjukan yang telah terkonsep oleh Komedi Stamboel dalam tradisi lakon dan tonilnya. Pedro melakukan perombakan radikal tradisi komedi bangsawan pendahulunya. Jika dalam Komedi Stamboel diantara pergantian adegan diisi atau diselingi dengan tarian-tarian dan lelucon untuk kepentingan hiburan, maka A. Pedro menghilangkan nuansa-nuansa lelucon dan tarian. Dardanella lebih menfokuskan pada bentuk pertunjukan drama murni. Dardanella mementingkan esensi dramatik, kekuatan cerita dan permainan aktor-aktornya, meskipun selingan tarian tetap ada namun masih berada dalam satu keutuhan pementasan, dengan lain kata, tari-tarian menjadi bagian dari alur cerita dan adegan.
Pengaruh Dardanella terhadap perkembangan teater modern Indonesia sangat besar. Seiring dengan kemajuan dardanella banyak bermunculan teater-teater lain yang diprakarsai oleh bekas sri panggung dan anggota dardanella sendiri. Seperti Bolero, Orion yang didirikan Miss ribort, dan Tjahaya Timoer yang didirikan Andjar Asmara. Andjar Asmara sewaktu menjadi anggota Dardanella menjabat sebagai tangan kanan A. Pedro. Andjar Asmara juga melakukan perombakan dalam sistem managerial dan sistem modernisasi dalam teknik tata panggung. Bahkan dampak dari kemajuan Dardanella sampai ke Jakarta, dengan didirikannya “teater Maya” yang diketuai oleh Usmar Ismail pada tanggal 27 Mei 1944.
Munculnya teater-teater kecil tersebut sebagai antitesis dari keberhasilan Dardanella dan juga sebagai proses eksperimental terhadap tema dan bentuk pementasan yang konvensional.
Komedi Stamboel dan Dardanella yang lahir di Jawa Timur yakni Surabaya dan Sidoarjo merupakan pelopor gerakan pementasan teater modern di Indonesia, bahkan secara tidak langsung memberikan dampak yang begitu besar terhadap teater di tanahair nantinya.
Semangat modernitas yang dibangun oleh Dardanella terlihat dalam setiap pertunjukannnya telah memakai scrip atau naskah, pengadaan properti, kostum, make-up, juga melakukan pementasan yang utuh, artinya, teater Dardanella menghilangkan konvensi-konvensi lelucon dan tarian-tarian yang memberikan kesenangan lebih pada penonton. Dardanella melalui A. Pedro dan Andjar Asmara telah melakukan sistem manajerial pertunjukan secara profesional yang merupakan supra struktural dari suartu pertunjukan. Hal ini yang merupakan ciri dari teater modern dengan semangat realisme.
Realisme yang dimaksud ialah melihat peristiwa sehari-hari yang dialami setiap saat (ilusi kenyataan), sebuah pementasan bukan bukanlah sekedar menyajikan cerita, tetapi ada pesonanya, yakni yang seakan-akan bersungguh-sungguh, suatu permainan yang menimbulkan rangsangan pikiran bahwa yang terjadi di panggung bisa pula terjadi pada penonton.
Konsepsi estetika realisme yakni semangat impresionis. Tidak tidak menggubris lagi pesan-pesan sejarah, kitab suci, tetapi langsung memberikan kesan tentang persoalan-persoalan pokok-nya. Konsepsi realisme ingin menohok konsepsi romantisisme yang cenderung menjadikan kehidupan seperti mimpi. Dalam hal ini peentasan Dardanella tidak lagi menampilkan epos-ramayana yang merupakan model pementasan tradisional, akan tetapi Dardanella lebih banyak memainkan naskah-naskah yang sedang terjadi pada masyarakat sekitar. Misalnya dengan mementaskan naskah Nyai Dasima dan Kalibrantasi.
Dardanella dengan demikian sadar akan posisi dan konteks sosial dalam masyarakatnya, Dardanella mengapresiasi material dan mengekspresikan kultur lokal dengan perspektif modern.
Sedangkan pada dekade dewasa ini, kreator dan pekerja seni teater Jatim telah gagal mewarisi dan mempertahankan tradisi teater modern yang telah dibangun Komedi Stamboel dan Dardanella. Kegagalan pekerja teater Jatim lebih pada sikap kritis, mentalitas, spirit dan intelektualitas. Artinya, pekerja teater Jatim bersifat sebagai pekerja bukannya seseorang atau kelompok yang memiliki daya pikir kritis terhadap fenomena kultural, kepekaan terhadap konteks sosial dibelakang teks realitas.
Dalam beberapa pertunjukan terakhir teater-teater Jatim di Surabaya, pekerja teater Jatim mengesampingkan problematik perspektif kritis massa. Pertunjukan teater Jatim hanya bersifat momentum, temporal dan gegabah mencermati fenomena sosialnya. Dalam hal ini, pekerja teater Jatim khusunya Surabaya tidak mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan mental masyarakatnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa Surabaya merupakan kota ‘metropolis’ dimana kriminalitas, kekerasan, urban, ketimpangan sosial, tata kota, pendidikan, perdagangan dsb, adalah suatu problematik yang sering kali dijumpai. Dengan lain kata, pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan pekerja teater Jatim kurang kritis mengklarifikasi problematik. Eksperimentasi dan eksplorasi yang dilakukan para pekerja teater Jatim lebih pada bentuk belaka, tidak menyentuh esensi dan fenomena masyarakatnya atau dengan lain kata minimnya proses kontenplatif, bukannya bermewah-mewah dengan bentuk pertunjukan, baik secara infra stuktural maupun supra strukturalnya, namun minim ide dan gagasan serta gagal menyampaikan dan mengkomunikasikan kegelisahan kultural Jatimnya.
Fenomena yang tak kalah memalukan pekerja teater Jatim ialah, para kritikus teater Indonesia, seperti Jim Lim, Zaini KM, Umar Kayam, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Rendra, Afrizal Malna, Bagdi Sumanto, Hanindawan, Nursahid, Sapardi Djoko Damono, Gunawan moehammad dll dalam beberapa tulisan, pembabagan, referensi-referensi dan data tentang teater modern Indonesia, Surabaya dan Jatim pada umumnya tidak pernah dicatat keberadaannya. Entah karena secara kualitas teater Jatim tidas layak, atau memang di Jatim tidak ada kritikus teater yang berkualitas sehingga dapat mengangkat nama teater Jatim. Secara logika sederhana, seharusnya teater modern Indonesia maju dan terus berkembang di Jatim, dimana pewarisan tradisi teater modern pertama kali diletakkan, bukannya di Solo, Bandung, Yogyakarta dan Jakarta.
Sumber = Ahmad Faisal
Malaysia Klaim Budaya dan Pulau Indonesia
Kelas = XI IPA 1
BD = Art of Culture
GBS = Ronaldo Rozalino S.Sn
Sebagai warga negara Indonesia kami tidak menerima hal itu. Itu sama saja bagian dari penjajahan,ya.... penjajahan,penjajahan terhadap pulau milik negara Indonesia. Pulau yang diakui keberadaannya dan juga keindahannya.
Wajar jika mereka iri terhadap keindahan alam Indonesia ini,terutama terhadap pulaunya. Coba ingat,pulau apa saja yang sudah berhasil mereka ambil? Ligitan dan Sipadan bukan? Setelah itu mereka ingin mengambil Pulau Ambalat,namun apa yang terjadi? Mereka gagal. Berkat kegigihan dan perjuangan rakyat Indonesia pada saat itu,terutama pemuda Indonesia dan pemerintah yang bersi keras untuk mempertahankannya. Terima kasih Indonesia.........
Sekarang,mari kita jaga kelestarian pulau-pulau dan Kebudayaan Indonesia agar tetap terpatri dalam jantung Indonesia. Diantaranya dengan mematenkan pulau,tradisi,maupun alat-alat musik yang sudah lama lahir dari bumi pertiwi ini.
"Wahai pemuda Indonesia,engkau dilahirkan di bumi pertiwi ini dalam keadaan selamat. Kau telah menghirup udara kemerdekaan pada saat itu.Sekarang,mari kita bangun semangat kesatuan dan persatuan Indonesia. Semangat untuk tetap menjaga kelestarian pulau dan budaya Indonesia."
"Hai Malaysia,urus saja dirimu sendiri,jangan menjadi parasit. Buktikan di mata dunia bahwa negara kalian adalah negara yang menghargai karya anak bangsa. Sekali lagi,urus dirimu sendiri..........!!!